Kisah Ibu Rumah Tangga dengan HIV Positif yang Lahirkan Anak Sehat

Jakarta, Sudah lima tahun Nur hidup dengan HIV (Human Immunodeficiency Virus) di tubuhnya. Namun bukan berarti ia harus kehilangan hak sebagai wanita seutuhnya yang juga ingin memiliki keturunan. Dengan program khusus, Nur yang HIV positif pun kini memiliki seorang putri mungil yang sehat.

Nur (28 tahun) terdiagnosis HIV positif sejak Agustus 2007. Ia mendapatkan virus tersebut dari pasangannya yang merupakan seorang pecandu narkoba. Butuh 2 tahun bagi wanita asal Yogyakarta ini untuk bangkit dan membangun kembali hidupnya.

"Pertama kali tahu saya putus asa, nggak mau ngapa-ngapain, nggak kerja, nggak kuliah, skripsi pun sampai mundur. Baru setelah 2 tahun, setelah mendapatkan dukungan dari keluarga dan teman-teman, saya baru bisa menerima," ujar Nur, saat berbincang dengan detikHealth, ditulis Rabu (5/12/2012).

Setelah mendapatkan banyak informasi dari dokter dan teman-teman sesama ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS), Nur mengetahui bahwa seorang wanita HIV positif pun bisa memiliki anak yang sehat dengan mengikuti program khusus, yang disebut PMTCT (Preventing Mother to Child Transmission).

Meski awalnya ragu, Nur dan sang suami yang juga sesama ODHA, akhirnya memutuskan untuk menjalani program kehamilan. Tapi tak boleh sembarangan, karena Nur dan suami (38 tahun) harus menjalani serangkain pengecekan.

Hal pertama yang harus mereka lakukan adalah berkonsultasi dengan dokter. Dokter kemudian akan memintanya rutin melakukan tes Cluster Differentiation 4 (CD4) untuk mengontrol jumlah sel darah putih.

"Kalau orang normal (tanpa HIV), CD4-nya harus 500-1500. Tapi kalau ODHA dinyatakan sehat bila CD4 di atas 350," terang Nur, yang kini aktif di Victory Plus, LSM yang khusus menangani ODHA.

Kesehatan secara keseluruhan juga harus dinyatakan baik, seperti berat badan normal dan tidak ada infeksi penyerta seperti penyakit menular seksual, hepatitis dan infeksi lainnya.

Ketika semua kondisi baik, maka pada saat masa subur Nur dan suami dapat berhubungan badan tanpa menggunakan kondom. Pada kondisi ini, risiko penularan HIV/AIDS melalui sperma atau cairan vagina bisa saja terjadi, tetapi kemungkinannya cukup kecil.

"Selain masa subur, maka harus tetap pakai kondom. Setelah hamil, tetap harus minum obat ARV (obat anti-retroviral virus). Saya juga tetap kontrol sebulan sekali, setiap ambil obat di rumah sakit," lanjut wanita yang juga aktif di Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) Yogyakarta.

Saat memasuki usia kehamilan 9 bulan, kesehatan dan kekebalan tubuh Nur dinyatakan baik oleh dokter. Maka ia pun mendapat dua pilihan persalinan, bisa melalui cara normal (vaginal) atau operasi caesar.

"Saya sebenarnya boleh melahirkan normal dan boleh menyusui, cuma waktu mau lahiran ketutup ari-ari. Jadi pagi-pagi sudah perdarahan, tapi pembukaan nggak nambah-nambah padahal darahnya sudah banyak keluar. Jadi dokter bilang harus di caesar," kenang Nur.

Nur pun sebenarnya diperbolehkan untuk menyusui anaknya. Sayangnya, sesaat setelah persalinan, sang bayi yang baru dilahirkan harus segara dipisahkan dari ibunya dan perawat terlanjur memberinya susu formula.

Menurut Nur, jika bayi sudah terlanjur diberi susu formula, maka masuknya ASI dari ODHA dapat menambah risiko terjadinya infeksi. Akhirnya hingga sekarang, putri kecil Nur yang lahir pada Mei 2012 lalu harus besar dengan susu formula.

Untuk mencegah infeksi, bayi Nur juga diberikan ARV dengan hanya 1 komposisi selama 6 minggu. Kesehatannya pun selalu dipantau agar tidak tertular virus dari tubuh ibunya.

"Anakku belum dites HIV karena untuk dites itu harus usia 1,5 tahun. Tapi sampai sekarang perkembangannya bagus, badannya gemuk, nggak ada infeksi seperti sariawan atau diare," terang Nur, yang berharap anaknya tetap negatif HIV.

Kini kondisi Nur dan suaminya sangat sehat. Ia masih rutin mengonsumsi ARV setiap 12 jam sekali, yaitu tiap jam 9 pagi dan 9 malam, yang diperolehnya secara gratis di rumah sakit.

Nur mengatakan, untuk mengikuti program PMTCT biayanya memang cukup mahal karena peralatan persalinan seperti tempat tidur hingga pisau bedah harus dipersiapkan khusus dan tidak boleh dipergunakan oleh orang lain, guna mencegah penularan infeksi dari darah pasien.

Beruntung, biaya persalinan Nur sebagian ditanggung oleh Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Meski tak 100 persen, tapi menurut Nur itu sudah sangat membantu.

"Keluarga awalnya ragu waktu saya bilang ingin punya anak, karena saya dan suami dua-duanya ODHA takutnya nanti anaknya tertular. Tapi setelah dijelaskan akhirnya mengerti juga. Setelah lahir pun disuruhnya 1 saja. Tapi kan kita juga punya hak untuk punya anak, punya hak menentukan berapa jumlahnya," tutup Nur, yang kini mengaku ingin fokus membesarkan putrinya.


( mer/vit)
Source : detik[dot]feedsportal[dot]com