Cerita Cinta Kebaya Peranakan


KOMPAS.com - Kebaya peranakan punya nilai lebih di mata para pencintanya. Model kebaya berpengaruh China ini memberi keleluasaan padu padan. Pas untuk tampil anggun dengan paduan kain panjang, juga bisa cantik dan santai dengan celana jins.


Siang terasa sejuk di Restoran Orient8, Hotel Mulia, Senayan, Jakarta, Kamis (14/3). Suasana seketika cerah saat beberapa ibu muda tiba di ruang makan privat restoran itu. Merah, hijau, kuning, dan merah muda, warna kebaya yang mereka kenakan, berpadu dengan kain-kain batik bercorak terang.


Para ibu muda itu, yakni Sinta Lie (35), Andini Djody Hidayat (36), Lina Abeng (41), Francy Momuat (40), dan Dina Lestari (36) bukan sekadar datang untuk menikmati sajian kuliner Perancis dan Pan-Asia di restoran itu. Mereka bertukar cerita dan ide bergaya dengan kebaya peranakan.


Untuk acara kumpul-kumpul ini mereka cermat merias diri. Saat memakai kebaya dan kain harus cantik, kira-kira begitu aturan mainnya. Kali ini mereka kompak menata rambut dengan sanggul berkepang. ”Model sekarang begini. Kepangan rambut bisa diganti bunga, pas untuk kebaya, kan,” ujar Dina sambil tersenyum.


Mereka berdandan dan bertemu siang itu karena punya kesamaan: sama-sama terpikat kebaya peranakan. Beberapa orang di antara mereka bahkan sudah menyimpan lebih dari 100 kebaya di rumah.


Kebaya peranakan lahir dari percampuran budaya China di Asia Tenggara. Di Jakarta, model ini kerap disebut kebaya encim dan jadi ”milik” Betawi. Di Malaysia dan Singapura, model itu disebut kebaya nyonya dan ditandai pula dengan pencampuran unsur Melayu.


”Kebaya peranakan di Indonesia dibandingkan dengan di Singapura dan Malaysia bisa dilihat perbedaannya dari motif bordir. Di sana kuat rasa China-Melayu,” ujar Sinta.


Sama-sama berornamen bordir atau sulaman tangan, mata terlatih para pencinta kebaya ini akan dapat membedakan yang mana karakter bordir ala Tasikmalaya, Padang, atau peranakan. ”Sama-sama bordiran bunga dan binatang pun hasilnya beda banget,” kata Sinta menambahkan.


Ikatan
Sinta memang punya ikatan kuat dengan kebaya peranakan. Ia lahir dan tumbuh dalam budaya China peranakan. Perempuan berdarah campuran China, Sunda, Betawi, dan Belanda ini sejak kecil mengamati sang nenek setiap hari tampil apik berkebaya. Setelah neneknya meninggal, kebaya dan segala aksesori milik sang nenek pun jadi warisan berharga untuk keluarganya.


Begitu dalam hati Sinta bertaut dengan kebaya peranakan hingga ia membangun butik House of Kebaya, dua tahun silam.


Meski begitu, kebaya peranakan bukan saja milik perempuan peranakan China. Lina Abeng (41) yang berdarah Batak, misalnya, juga penggemar kebaya peranakan. Perempuan yang lahir dan besar di Jakarta ini jatuh hati pada kebaya encim saat ia beraksi dalam suatu perlombaan di masa taman kanak-kanak.


Tumbuh remaja dalam keluarga yang memegang tradisi Batak, Lina yang mewarisi marga Pohan dari sang ayah tentu juga terbiasa dengan songket dan ulos. Meski begitu, ia tak kehilangan minat pada kebaya peranakan. Lingkungan pergaulannya kini justru mendorongnya makin sering berkebaya peranakan.


”Sekarang ibu-ibu, kan, banyak acara. Fashion show dengan kain Indonesia juga makin sering. Paling praktis kalau datang pakai kebaya peranakan,” ujar ibu dua anak ini.


Kebaya peranakan membuat Lina kesengsem karena karakternya yang kaya warna serta keindahan sulamannya. Belakangan, ia makin gemar belanja kebaya, termasuk kebaya peranakan. Kini Lina sudah memiliki sekitar 100 kebaya di rumah. ”Kan, bisa diwariskan kepada anak,” ujarnya.


Tradisi

Lain lagi cerita Andini Djody Hidayat (36). Dibesarkan dalam kultur Jawa, Andini memang akrab dengan kebaya sejak anak-anak. Mengenakan kebaya dan kain adalah tradisi keluarganya dalam setiap acara penting. Dalam setiap acara pernikahan kerabat dan teman dekat hingga silaturahim keliling saat Lebaran, kebaya wajib dikenakan.


Sejak remaja, Andini pun sudah terampil memadupadankan sendiri kebaya dengan kain yang ia punya. Ia bebas memilih sendiri corak kain atau model kebaya yang dikenakan, kecuali untuk perhelatan adat yang mesti sesuai pakem. ”Kalau ada acara keluarga, Ibu saya kadang memeriksa dulu sudah benar atau belum cara saya pakai kain atau sarung,” ujarnya.


Di antara koleksi aneka kebaya yang ia punya sejak remaja, kebaya peranakan termasuk model yang sering dipakai Andini. ”Kebaya peranakan atau encim pas untuk selera orang muda,” ujarnya.


Francy Momuat (40) yang asli Manado, Sulawesi Utara, baru mengenal kebaya ini ketika pindah ke Jakarta untuk menempuh studi di perguruan tinggi. ”Kebaya ini bikin cantik, warna-warnanya ngejreng, bahannya adem, nyaman dipakai, dan praktis,” kata Francy.


Dina yang berdarah Sunda juga begitu menggemari kebaya. Saking terpikatnya, ia sudah mengoleksi lebih dari 100 kebaya. Uniknya selalu ada warna merah di kebaya milik Dina. ”Bisa warna dasar kainnya merah atau ada warna merah di bordirannya. Saya suka merah sih,” ujar Dina yang siang itu berkebaya merah terang.


Di luar urusan warna, Dina terpesona bordiran kebaya peranakan. Ia pun menunjuk bordiran burung merak mengembangkan ekor pada kebayanya. ”Masing-masing kebaya peranakan ini punya bordiran yang unik dan indah,” ujar Dina.


Setiap helai kebaya peranakan memang sebuah cerita memikat bagi para pencintanya.


(Nur Hidayati)


Sumber: Kompas Cetak


Editor :


Dini